Wednesday, June 20, 2018

Diary Litél: Menulis?

Hai pembaca setia! 😆 

Kali ini aku akan berbagi sedikit tentang menulis. Mengapa aku menulis, mengapa puisi, mengapa bukan puisi, juga apa yang aku dapat dari menulis. Jika kamu malas membaca karena panjang, tekan tombol kembali sekarang juga. 
---------------------------------------------------------------------------
Jika kamu suka membaca karya-karya manusia, terutama puisi yang berhubungan dengan hati atau protes, kamu pasti menyadari bahwa di setiap karya ada makna tersembunyi yang diselipkan si pemuisi tersebut. Hal ini bukan semata-mata menambah kerumitan pemahaman dalam karya, loh.., atau malah... menyombongkan kemampuan penulis. Nope, bukan sama sekali. 

Sebenarnya, pemuisi adalah orang-orang yang ingin menyampaikan sesuatu lewat cara yang indah. Entah itu perasaan, ajakan, atau protes. Karya sastra berbeda dengan karya ilmiah (ya iyalah, ya😅). Pasalnya, karya ilmiah akan membongkar fakta dan menyentuh logika pembaca terlebih dahulu sebelum menyentuh hati mereka. 

Berkebalikan dengan karya sastra. Sebagian besar karya sastra akan berusaha menyentuh hati terlebih dahulu sebelum menyentuh logika. Aku tidak tahu untuk orang lain, tapi menurutku, perubahan akan segera dimulai dari rasa. Rasa akan menggerakkan logika dan kemudian logika yang akan memerintahkan anggota tubuh yang lain untuk bertindak. Seperti cinta, mungkin? Jangan bilang kau belum pernah merasakannya? Hemm...

Untuk diriku sendiri, menulis puisi dan karangan argumentatif merupakan cara untuk mengungkapkan perasaan, mengajak, dan juga protes. Terutama puisi! Aku suka bagaimana kata-kata mengalir membentuk suatu emosi yang padu dalam bait, kemudian menjadi satu karangan yang utuh. 

Coba kita ingat lagi, berapa banyak manusia yang menyalurkan emosi mereka dengan cara menangis, memukul benda-benda di sekeliling mereka, atau berteriak. Tidak salah, sama sekali tidak salah. Menusia diciptakan memiliki emosi, dan jika manusia hanya menahannya, diam di tempat, dan membisu, justru akan membahayakan manusia sendiri. 

Pertanyaannya, apakah penyaluran emosi yang setiap manusia pilih merugikan orang lain atau malah membuat orang lain belajar dari emosi kita? Itu adalah pilihan setiap pribadi. 

Aku memilih yang kedua. Aku rasa, orang lain bahkan berhak mengambil pelajaran dari emosi yang aku rasakan, sehingga tidak perlu ia mengulangi kesalahan yang sama. Lalu kemudian, mengapa puisi adalah cara yang aku pilih?

Selain karena aku memang suka menulis, sejujurnya karakter pemalu melekat di dalam aku. Lewat puisi, aku bisa menyalurkannya dengan indah, bukan dengan emosi-emosi negatif. Tapi justru lewat puisi pula, dan tentunya banyak faktor lain di sekitarku, lama kelamaan aku belajar untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan dengan lebih tegas dan lugas. Bahkan, saat menulis, pikiran kita bukan hanya tertuju pada si emosi, namun bagaimana cara mengatasi emosi tersebut. Keterbukaan pikiran akan membuat tulisan kita netral dan bukannya menjatuhkan orang lain. 

Terakhir, aku belajar untuk menerima masukan dari orang lain melalui publikasi karya. Percayalah, pada akhirnya, memperlihatkan karyamu kepada orang lain adalah hal tersulit di dalam menulis karya. Membiarkan mereka menikmatinya, menganalisis, bahkan mengkritik karyamu adalah hal yang menegangkan. Tetapi di sisi lain, hal inilah yang membuatku semakin suka menulis. 

Aku harap, kamu pun menemukan cara penyaluran emosimu sendiri. Ingat, setiap manusia punya caranya sendiri. Kamu juga. Aku harap setelah menemukannya, kamu juga akan berbagi kepada kaum manusia hari ini. 

No comments:

Post a Comment